Wednesday, May 01, 2024

333 LANGKAH MENJEMPUT KEBAHAGIAAN

 

Bau angu dari tanah gersang yang disiram air hujan menyeruak ke dalam rongga penciuman Senja. Angin yang menyelinap masuk dari sela-sela tirai meniupkan aroma yang sangat dikenalnya. Senja duduk diam, menikmati belaian angin sore di atas kursi goyang kayu. Warna rambut abu-abu keperakan yang menutupi kepalanya dan berjuntai di sisi telinganya turut menari mengikuti irama angin sore.

Senja menarik nafas dalam-dalam, mengisi dua bilik paru-parunya dengan aroma angu. Senja tidak dapat menjelaskan mengapa setiap kali bau angu dihirupnya, rasa sepi yang menggelayuti dadanya dua tahun terakhir ini sedikit berkurang. Senja kembali menarik napasnya dalam satu hentakan keras, kali ini lebih banyak, lebih dalam dan lebih lama. Kepalanya yang bertumpu pada sandaran kursi goyang, sedikit mendongak dan matanya terpejam. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat dan senyuman tipis tergores di wajahnya. Bayang-bayang peristiwa lima puluh delapan tahun lalu bergerak silih berganti di benaknya.

Mentari dan Senja menelusuri rel kereta. Rambut basah keduanya yang kadang masih meneteskan air rapih terjalin. Bau sabun cap tangan dari pakaian mengusik penciuman berbaur dengan aroma angu yang dieskalasi oleh air hujan.  Senja dan Mentari melompat di atas papan-papan yang dijadikan ambalan rel kereta api dengan cekatan.. “Lima puluh enam, lima puluh tujuh, lima puluh delapan…,” pekik keduanya. Senja melompat di sisi kiri rel dan Mentari berjingkat di sisi kanan. Keduanya terus berlaga mengadu kecepatan sambil memekikkan angka ambalan yang dilalui. Pada hitungan 325, Mentari bersorak menyemangati Senja untuk menambah kecepatan: “Ayo … delapan lagi…lebih cepat…ayo.” Pada hitungan 333 keduanya tiba di tepi jalan raya, terengah-engah. Rambut yang terjalin, sedikit terlepas dan mengurai di kedua sisi wajah keduanya. , berbaur dengan keringat.

Masjid di seberang dan kedua gadis dipisahkan oleh jalan raya. Lalu lalang kendaraan menghadirkan orkestra sore kota besar. Debu-debu yang biasanya beterbangan sedikit tenggelam. Hujan yang turun beberapa saat yang lalu telah meredamnya. Bau angu merebak dari aspal yang basah terguyur hujan. Napas Mentari dan Senja masih berkejaran. Mereka berdiri di tepi jalan. Kedua pasang bola mata sudah sibuk menyisiri  lalu lalang kendaraan. Keduanya menanti kebahagiaan yang segera menjelang. Kepala keduanya bergerak dari kanan ke kiri, kembali ke kanan menyapu ke kiri.

Penantian memang pekerjaan yang membutuhkan sejuta kesabaran. Sore itu kesabaran semakin diuji ketika matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Suara azan berkumandang memanggil umat untuk menunaikan shalat Magrib. Mata Mentari dan Senja semakin sulit mengidentifikasi kendaraan yang lalu lalang. Entah dari mana, tiba-tiba sosok laki-laki seusia Ibu dengan pakaian lusuh menghampiri mereka. Laki-laki tsb mendekat perlahan. Tangannya bergerak hendak menyentuh rambut Senja. Senja terkejut dan beringsut dengan sigap ke belakang Mentari. Senja berupaya menyusutkan tubuhnya yang besar di balik Mentari yang bertubuh kersang. “Meskipun tubuhnya lebih kecil dibandingkan adiknya, Mentari adalah malaikat penjaga Senja,” demikian ucapan yang sering dilontarkan oleh Ibu.

Mentari pun tak kalah terkejut. Namun, naluri untuk melindungi adiknya meluap. Dia berdiri membelakangi Senja dan merentangkan kedua lengannya ke kedua sisi tubuhnya seperti hendak menghalangi laki-laki tua tersebut untuk menjangkau Senja. Mentari menatap tajam sosok laki=laki tua di hadapannya. Matanya yang bulat membelalak lebar. Laki-laki tersebut bergerak maju hendak menyentuhnya. Naluri Mentari tersulut dan dengan lantang berteriak meminta pertolongan. Orang-orang yang hendak menunaikan shalat menoleh dan berlari sigap.  Laki-laki tua tsb ketakutan dan bergerak cepat meninggalkan keduanya. Mentari dan Senja saling menggenggam erat tangan mereka. Diam dengan tubuh yang bergetar. “Jangan katakan pada siapa pun!” ujar Mentari sedikit tersengal. “Tidak juga Ibu.”  

Chevrolet bermoncong hijau panjang, bermata sipit berhenti di hadapan mereka. Nama tempat ibu bekerja tertera di tubuhnya.  “Ibu…ibu…Senja mengarahkan telunjuknya ke arah si moncong hijau. Senja selalu bersemangat untuk menjadi yang pertama mengenali kendaraan yang membawa Ibunya. Rasa takut atas peristiwa yang baru saja terjadi luluh seketika. Ibu turun dari dalam kendaraan. Di tangannya menjuntai tas coklat. Dengan sigap Mentari dan Senja meraih tas dari tangan Ibu. Mentari menggenggam jinjingan tas di sisi kanan dan Senja menggenggam di sisi kiri. Pandangan mata keduanya mengarah ke dalam tas Ibu untuk mencari sesuatu. Suara tawa bahagia keduanya terdengar.  Ada kalanya kepala keduanya saling berantukan. Tawa mereka semakin berderai. Senja mengangkat kantong kertas coklat yang bertuliskan namanya, sambil tertawa bahagia. Mentari menggenggam erat kantong kertas coklat miliknya. Ibu menaruh penganan yang sama dalam dua kantong kertas coklat yang sama. Satu-satunya yang membedakan kedua kantong tsb adalah sisipan kertas di dalamnya. Satu pesan untuk Mentari dan satu pesan untuk Senja.

Keduanya berjalan menggenggam erat kantung kertas coklat di satu tangan dan lengan Ibu di tangan lainnya. Mereka beriringan menempuh jalur berputar yang lebih berjarak. Perjalanan tersebut terasa sangat singkat karena ada banyak cerita dan tanya yang terus dihamburkan. Kisah demi kisah menanti untuk dituturkan, saling berdesakan di bibir, bertaburan, berserakan. Belum lagi tuntas satu kalimat dari Mentari, Senja sudah memotong kalimatnya dan melontarkan kalimat miliknya. Senja yang penuh semangat, terburu-buru dan tubuh yang tergolong besar untuk usianya yang baru tujuh tahun. Lalu lintas di jalan tidak dapat menghentikan cerita yang terus diriwayatkan. Hilir mudik kendaraan sore serta bunyi klakson tidak bisa memadamkan hasrat keduanya untuk bertutur.

Ibu menggenggam tangan keduanya. Gurat lelah yang tergores di wajah Ibu dan sisa-sisa bulir-bulir peluh di keningnya sirna tatkala Mentari dan Senja berada di dalam genggaman tangannya.  Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, senyumnya terus terpampang. Matanya bagaikan Elang, mengawasi kendaraan yang berlalu lalang. Ibu memastikan mereka aman, jangankan tersenggol, tersentuh pun ibu tak rela. Mereka semesta Ibu.  Mentari,   lahir pada saat binar matahari mulai merayap menerangi bumi dan Senja yang hadir di dunia dan menangis untuk pertamakalinya pada saat temaram menyelubungi hidup Ibu. 

Cerita tidak berakhir ketika ketiganya tiba di rumah. Ibu yang kelelahan mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang terkelupas disana-sini. Mentari duduk di sisi kiri dan Senja di sisi kanannya. Keduanya membuka kantung kertas coklat. Keduanya meraih secarik kertas yang ibu sisipkan di dalamnya. Mentari tersenyum tipis seraya memeluk ibu. Genangan air mata menggantung di pelupuk matanya. Senja melonjak-lonjak kegirangan sambil mengucapkan terima kasih tanpa henti. Segala lelah, segala peluh Ibu seperti terserap oleh kebahagiaan.

Percakapan terus berlanjut. Percakapan hilir mudik dari sekolah sampai ke kamar mandi, dari guru sampai sampai ke tetangga sebelah, dari penjepit rambut sampai ke teman. Ibu membiarkan keduanya bertutur tanpa merasa perlu bersikap seperti aparatur yang selalu mengatur, entah karena lelah yang mendera atau memang berniat membiarkan panggung menjadi milik mereka berdua. Mentari dan Senja, memegang peran utama di panggung kehidupan ibu.

Cerita harus berakhir ketika malam menjelang. Ibu beranjak untuk membersihkan diri dan bergerak menuju peraduan.  Begitupun Mentari dan Senja. Canda dan tawa masih memborehkan warna meskipun memudar dan hanya sedikit yang tersisa. Ibu berbaring di tengah. Mentari dan Senja tergolek di sisinya, Mentari di sisi kiri dan Senja di sisi kanan. Ketiganya menatap langit-langit kamar...diam tanpa kata hingga kantuk menjemput dan melontarkan Mentari dan Senja ke dunia mimpi.

Perlahan ibu bangkit dari pembaringan dan duduk di meja belajar di sudut kamar. Ibu mengambil dua lembar kertas kecil dari lacinya. Diam sejenak dan tak lama kemudian tangannya sibuk menulis pesan untuk kedua semestanya. Satu untuk Mentari dan satu untuk Senja. Satu di kotak makanan masing-masing dan satu lagi di kantung kebahagiaan mereka.

Di ruang tamu, kantung kebahagiaan tergolek menganga. Penganan masih utuh berada di dalamnya. Serangga malam siap-siap berpesta. Entah mengapa kebahagiaan yang berwujud buah tangan itu mereka tinggalkan. Kebahagiaan mungkin memang tidak harus berwujud. Di samping masing-masing kantung tergeletak secarik kertas. Tulisan tangan Ibu yang digoreskan dengan hati-hati, satu untuk Mentari dan satu untuk Senja. Di kertas untuk Mentari, Ibu berpesan: “Terima kasih kamu sudah menjadi Mentari bagi Senja. Ayah menemui Ibu beberapa hari yang lalu di kantor. Ayah mengutarakan keinginannya untuk menemui kalian hari ini. Dia ingin memeluk kalian, terlebih Senja yang selama ini tidak pernah mengenalnya. Ibu tidak tahu apa keputusanmu, tetapi bila menurutmu baik, dan kamu membiarkan dia menemui kamu dan Senja, Ibu tidak melarang.  Bila menurutmu tidak baik, Ibu percaya kamu pasti melakukan yang terbaik untuk adikmu. Ibu mengasihimu.” 

Di kertas untuk Senja, Ibu menulis: “Senja, hari di kantor terasa panjang dan lama. Ibu tidak sabar ingin mendengar ceritamu. Cerita tentang guru idolamu, dan andaianmu bila dia adalah ayahmu. Oh ya...kata guru idolamu kepada Ibu, kamu anak rajin dan cerdas. Kalau kamu terus rajin seperti ini kamu kemungkinan akan menjadi juara kelas. Semangat ya nak, Ibu mengasihimu.”  

Pak guru, yang sekarang entah berada dimana, adalah tempat senja melabuhkan rindu pada sosok ayah. Sosok ayah yang terasa begitu asing bagi senja. Sosok yang bersemayam dalam bayangan kelam laki-laki tua yang dijumpainya, di senja hari di seberang Masjid yang mencoba membelai rambutnya dan menyentuh Mentari.

Aroma angu kembali mengudara. Sudah dua tahun, Senja terbiasa duduk di kursi malas kayu pada sore hari, menelusuri kertas yang berisi bongkah kenangan atas nama Mentari, yang  telah dijemput sang khalik, dan bongkah kenangan dirinya. Senja hanya ingin membunuh rasa sepi dan mencari kebahagiaan. Bongkahan tersebut tersusun rapi di dalam kotak kayu cendana warisan Ibu. Ada satu kertas untuk Mentari tergeletak di atas meja di tepi kotak cendana dan satu kertas lainnya untuk Senja tersisip di antara jempol dan telunjuknya.

 Angin malam yang berhembus agak kencang menerbangkan tumpukan-tumpukan kertas di dalam kotak cendana. Begitu juga satu kertas untuk Mentari di sisi kotak cendana dan satu kertasnya yang tersisip di antara jemarinya.  Kertas yang berhamburan terbang melayang dan berputar di udara, kemudian  berlabuh di atas lantai. Kertas yang ditulis oleh tangan alhmarhum Ibu untuk Senja tergolek tepat di sisi kertas untuk Mentari.

Senja diam.  Tak bergerak.  Kedua kelopak matanya mengatup. Kepalanya terkulai. Aroma angu tak lagi menggoda. Napasnya melambat. Sayup-sayup terdengar suara Mentari menyemangati Senja: “Ayo … tiga lagi…lebih cepat…ayo. Tiga ratus dua puluh satu…, tiga ratus dua puluh dua…” Pada hitungan 333 jantung Senja berhenti berdetak.

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments: