Thursday, May 02, 2024

CATOPTROMANCY

 Dia hadir kembali. Mataku kembali menangkap bayang-bayangnya, seperti kemarin, kemarin dulu, tiga hari yang lalu serta sebelumnya dan juga sebelum-sebelumnya. Mataku terus mengawasi  gerak geriknya. Tubuhnya yang berisi bergerak cekatan. Tas yang bergelayut dipundaknya berlenggak-lenggok mengikuti irama tubuhnya. Petugas kebersihan menghentikan pekerjaannya dan mengucap salam: ”Selamat pagi Ibu Anna.” Anna membalasnya dengan melontarkan senyuman tipis dan anggukan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya yang tetap mengarah ke mesin pencatat kehadiran.

Suara hak sepatu yang beradu dengan lantai bergema di lobby kantor yang lengang. Iramanya menyerupai ketukan metronome. Anna berhenti di depan lift. Dinding di samping lift terbuat dari pualam hitam memantulkan bayangan Anna. Anna memperhatikan bayangannya, namun tidak lama. Pintu lift terbuka. Anna masuk  dan menekan tombol lantai lokasi ruang kerjanya. Bayangan Anna kembali tampil di dinding lift. Hampir satu menit waktu yang tersedia bagi Anna untuk mengamati dirinya. Anna tiba di ruang kerjanya  tempat Anna menghabiskan hampir seluruh jam, menit dan detik dalam satu hari. Tempat Anna diperlakukan sebagai manajer institusi besar, di dalam ruangan besar dengan kekuasaan besar.

Kesempatan tak terduga untuk mengenalnya lebih baik tiba di suatu sore dalam sebuah pertemuan yang membosankan. Kantuk dan lelah yang dasyat menyerangku. Beberapakali perlawananku berhasil dipatahkan, dan aku kehilangan kesadaran meskipun hanya dalam hitungan beberapa detik. Di tengah pergumulanku melawan serangan kantuk, pintu ruang pertemuan terbuka dan kepala Anna menyembul dari balik pintu. Satu-satunya tempat duduk yang tersedia ada di sebelahku. Sebagaimana dugaanku, Anna bergerak mendekati tempat dudukku. Serta merta kantukku hilang. Sosok yang selama ini kukenal secara sepihak namun ingin kudekati dan kuselami lebih jauh lagi tiba-tiba saja duduk di sampingku. Ini terlalu mengejutkan, dan siap tidak siap aku akan siap.

Anna tersenyum tipis seraya duduk di sampingku. “Hai, dia menyapaku dengan gembira. Dia tampak dalam semangat tertingginya. "Ini adalah satu-satunya kursi kosong, kamu tidak keberatan jika aku duduk di kursi ini?"

Silakan…tidak keberatan…tidak sama sekali ...,” aku gugup, dan hampir kehilangan suaraku.

“Saya baru datang karena harus menghadiri pertemuan lain sebelumnya,” demikian Anna menjelaskan meskipun tidak ada yang mempertanyakan keterlambatannya. Terlebih rapat ini merupakan pertemuan seluruh jajaran manajer sampai dengan pimpinan tingkat tertinggi. Tidak ada yang tahu apakah kita hadir atau tidak, terlambat atau tepat waktu. Ada hampir 100 orang hadir di pertemuan ini. Anna hanya sebutir pasir di sebuah gumuk.

Belum sempat aku membalas sapaannya, gawai Anna bergetar. Dia membuka gawainya dan raut wajahnya berubah menjadi kecut. Kemudian Anna sibuk membalas, dan dibalas, dan membalas, lanjut dibalas. Aktivitas balas membalas membuat Anna jemu tampaknya. Dia mematikan gawainya dan menarik napas panjang. Sadar bahwa ada sepasang mata lain di sampingnya yang turut memperhatikan polahnya, Anna mengalihkan pandangannya kepadaku dan berkata:”Anak jaman sekarang, sulit ditentang apalagi dilarang. Berbeda dengan kita dulu.”

Aku tersenyum mendengar uraiannya yang lebih tepat disebut keluh kesahnya. Seperti merasa mengenalnya dengan baik, aku menjawab:” Mungkin anak Anda juga mengatakan hal yang sama tentangmu,” ujarku sambil tersenyum sinis.

Anna menatapku tajam, pupil matanya membuka dan membalas perkataanku:”Maksudnya?”

“Ya, mungkin dia menganggap kamu terlalu sibuk sehingga mereka mencari cara untuk mencuri  waktumu,” ujarku sekenanya.

Anna diam, namun hanya sejenak. Dia kembali menyanggah pernyataanku:”Aku bekerja untuk mereka. Waktu yang tersita karena tuntutan pekerjaan agar aku bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.”

“Terbaik untuk mereka, versimu. Sebenarnya permasalahanmu adalah pekerjaanmu, atasanmu atau …mungkin kebutuhanmu sendiri?” Aku tau bahwa pertanyaan ini akan sedikit menusuk hatinya. Ekspresi mengejutkan terukir di wajahnya, tetapi dia tidak menanggapi lebih jauh. Dia duduk di kursi, memalingkan wajahnya ke pimpinan rapat dan berpura-pura seolah-olah dia memusatkan perhatian pada rapat. Namun raut wajahnya menampakkan kegelisahan. Tangannya mencengkram erat tissue yang menggumpal. Aku tahu dalam hitungan lima detik dia akan mengatakan sesuatu. Sebelum dia melakukannya, aku memburunya dengan serangkaian pernyataan. ”Setiap hari kamu pasti lembur tanpa jeda. Atasanmu tak jemu  melimpahkan pekerjaan kepadamu. Keluargamu sulit menghubungimu karena kamu berpindah dari satu rapat ke rapat lain dan tidak berkenan menganggkat gawaimu. Sepadankah semua ini bila dibandingkan dengan pengorbanan keluargamu?”

Matanya terbelalak lebar memandangku. Di dalamnya aku melihat air mata yang menggelantung serta luka yang menganga lebar. Dia meraih tasnya dan bergegas berlari keluar ruangan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku membayangi langkahnya. Langkahnya semakin cepat dan dia masuk ke toilet. Ada dua buah kursi, sebuah meja panjang yang menampung enam buah wastafel, serta  deretan kamar kecil. Tasnya dilempar ke atas meja tempat mencuci tangan.  Tangisnya meledak di depan cermin. Air matanya tumpah ruah tak terbendung.  Suara tangisnya memenuhi ruang hampa di dalam kamar kecil.

Aku menyapanya lembut:”Kamu baik-baik saja?”

Dia mengangkat kepalanya dan menatap  bayanganku di dalam cermin. Wajahnya basah oleh airmata, hidungnya berair dan puncaknya berwarna kemerahan. Ada amarah, ada kesedihan, ada luka, ada bersalah, ada berbagai pergumulan yang menumpuk di dadanya terpantul di matanya. Seluruh rasa akan bergejolak, meledak dan berhamburan dalam wujud perkataan yang tak terkendali, jauh dari kesadaran dan kewarasan. Sepertinya hormon Serotonin mengalami ketidakseimbangan di otaknya. “Pertanyaanmu adalah pertanyaan retoris,” jawabnya setengah menghardikku dengan pandangan mata seekor singa yang terluka. Demikian wujud ledakan pertamanya.

“Berarti kita sama-sama sudah memahami jawabannya. Kalau begitu aku kembali pada pertanyaan pertama. Siapa yang memaksamu untuk menjadi budak korporat, siapa yang menciptakan jarak antara pekerjaan dan keluarga? Uang, dirimu atau atasanmu?”

“Pertanyaan kosong! Mana ada jawaban mutlak. Semua sebab ada disana, semua berkontribusi pada keadaan,” teriaknya sambil mengayunkan kedua tangannya di udara seluas mungkin menjangkau udara, membentuk lingkaran besar. Atasanku merantai tubuhku dengan kekuasaannya, uang adalah rasa cintaku untuk memberikan kehidupan yang terbaik bagi anak-anakku, dan aku  adalah korban yang terperangkap dalam situasi ini.” Demikian ledakannya yang kedua. Ini adalah petanda gelombang emosi belum mengering. Aku memilih ada dalam diam, menanti waktu yang tepat untuk mengusiknya kembali.

Selang beberapa saat, air matanya reda. Aku kembali berkata: “Anna ada cermin di hadapanmu. Temukan dirimu di dalam cermin ini. Anna yang berdiri termenung, diam dalam kebisuan. Perlahan Anna mendongakkan kepalanya dan menatap dirinya di dalam cermin. Bibirnya bergerak-gerak menggumam perlahan, pesannya dapat dimaknai meski sulit di dengar: “Cermin, cermin di dinding: Siapa aku?” Dongeng Cinderella memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penggemarnya. Bayangan yang dipantulkan oleh cermin diyakini sebagai identitas si empunya bayangan. 

Aku berkata kepada Anna: “Kalau saja Narcissus tidak jatuh cinta pada refleksinya di air, kemungkinan dia tidak mati.”

Perkataanku sepertinya tidak didengar. Perhatiannya tetap tertuju pada bayangan dirinya yang tampil di cermin.  Anna menyentuh bayangannya di cermin sebagaimana halnya bayangan tersebut juga menyentuh Anna. Anna melakukan beberapa gerakan yang juga diikuti oleh bayangan di dalam cermin. Anna kembali bergumam:”Kamu hanyalah sebuah bayangan. Aku sang pemilik bayangan yang mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”  Anna mulai menyadari ada jarak antara dirinya yang di depan cermin dan bayangan dirinya di dalam cermin.

Bayangan yang sama juga hadir dalam tatapan mata petugas kebersihan, dinding pualam yang berkilat, dinding lift. Anna adalah manajer, Anna adalah kuasa, Anna dihormati. Refleksi itu sudah berhasil membius dan menjadikan Anna obyek dan bayangannya menjadi subyek yang mendefinisikan Anna dalam dimensinya sebagai seorang manajer, pemegang kuasa dan dihormati. Sebuah ramalan swawujud yang lahir dari Catoptromancy. Pemasungan Anna oleh atasan adalah sebuah akibat, bayang-bayang menjadi penyebab. Jarak antara Anna dan keluarganya adalah sebuah implikasi.

“Lalu siapa kamu Anna? Aku mengulangi pertanyaanku kembali.

“Penentu terbesar siapa aku adalah di mana aku berada. Di mana aku berada adalah semua fitur situasiku lokasi fisik dan waktu. Disini aku manajer, di rumah aku seorang ibu, istri, di tengah masyarakat aku adalah seorang wanita; dan juga waktu, di pagi hari aku seorang ibu rumah tangga, di siang hari aku manajer, di sore hari aku seorang istri. Aku adalah diri yang berbeda saat bersama dengan teman kuliah dan pada saat minum bersama keluarga setelah makan malam.” Anna menjawab tanpa memedulikan kehadiranku atau tanggapanku.

“Aku harus pulang sekarang,” Anna menjawab sambil memegang tasnya. Dia bergerak cepat dan berjalan menuju pintu keluar kamar kecil. Ketika tangannya memegang gagang pintu, Anna menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia membalikkan tubuhnya, mengernyitkan kening dan memandangku dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Anna merasakan adanya keanehan dalam percakapan ini. “Sebentar, bagaimana kamu tahu namaku adalah Anna? Aku tidak pernah mengenal dirimu, dan seumur hidupku baru hari ini aku melihatmu. Bagaimana kamu bisa mengetahui begitu banyak hal tentang aku? Siapakah kamu?”

Sekarang giliran Anna yang ingin mengetahui, mengenal lebih jauh tentang diriku. Aku tersenyum tipis, seperti senyuman Anna pada petugas kebersihan di lobby. Mataku tajam menatap Anna. “Namaku adalah namamu yang dieja dari belakang.

Anna terperanjat. Sambil mengernyitkan dahinya Anna berkata: “A-n-n-a. Kamu juga Anna?”

“Aku adalah kesadaran yang lama terbenam dalam ketidaksadaranmu. Kamu dan aku satu,” jawabku.

 


No comments: