Bau
angu dari tanah gersang yang disiram air hujan menyeruak ke dalam rongga
penciuman Senja. Angin yang menyelinap masuk dari sela-sela tirai meniupkan aroma
yang sangat dikenalnya. Senja duduk diam, menikmati belaian angin sore di atas
kursi goyang kayu. Warna rambut abu-abu keperakan yang menutupi kepalanya dan
berjuntai di sisi telinganya turut menari mengikuti irama angin sore.
Senja
menarik nafas dalam-dalam, mengisi dua bilik paru-parunya dengan aroma angu. Senja
tidak dapat menjelaskan mengapa setiap kali bau angu dihirupnya, rasa sepi yang
menggelayuti dadanya dua tahun terakhir ini sedikit berkurang. Senja kembali
menarik napasnya dalam satu hentakan keras, kali ini lebih banyak, lebih dalam
dan lebih lama. Kepalanya yang bertumpu pada sandaran kursi goyang, sedikit mendongak
dan matanya terpejam. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat dan senyuman tipis
tergores di wajahnya. Bayang-bayang peristiwa lima puluh delapan tahun lalu bergerak
silih berganti di benaknya.
Mentari
dan Senja menelusuri rel kereta. Rambut basah keduanya yang kadang masih
meneteskan air rapih terjalin. Bau sabun cap tangan dari pakaian mengusik
penciuman berbaur dengan aroma angu yang dieskalasi oleh air hujan. Senja dan Mentari melompat di atas papan-papan
yang dijadikan ambalan rel kereta api dengan cekatan.. “Lima puluh enam, lima
puluh tujuh, lima puluh delapan…,” pekik keduanya. Senja melompat di sisi kiri
rel dan Mentari berjingkat di sisi kanan. Keduanya terus berlaga mengadu
kecepatan sambil memekikkan angka ambalan yang dilalui. Pada
hitungan 325, Mentari bersorak menyemangati Senja untuk menambah kecepatan:
“Ayo … delapan lagi…lebih cepat…ayo.” Pada hitungan 333 keduanya tiba di tepi
jalan raya, terengah-engah. Rambut yang terjalin, sedikit terlepas dan
mengurai di kedua sisi wajah keduanya. , berbaur dengan keringat.
Masjid
di seberang dan kedua gadis dipisahkan oleh jalan raya. Lalu lalang kendaraan
menghadirkan orkestra sore kota besar. Debu-debu yang biasanya beterbangan
sedikit tenggelam. Hujan yang turun beberapa saat yang lalu telah meredamnya.
Bau angu merebak dari aspal yang basah terguyur hujan. Napas Mentari dan Senja masih
berkejaran. Mereka berdiri di tepi jalan. Kedua pasang bola mata sudah sibuk menyisiri lalu lalang kendaraan. Keduanya menanti kebahagiaan
yang segera menjelang. Kepala keduanya bergerak dari kanan ke kiri, kembali ke
kanan menyapu ke kiri.
Penantian
memang pekerjaan yang membutuhkan sejuta kesabaran. Sore itu kesabaran semakin diuji
ketika matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Suara azan berkumandang
memanggil umat untuk menunaikan shalat Magrib. Mata Mentari dan Senja semakin
sulit mengidentifikasi kendaraan yang lalu lalang. Entah dari mana, tiba-tiba sosok
laki-laki seusia Ibu dengan pakaian lusuh menghampiri mereka. Laki-laki tsb
mendekat perlahan. Tangannya bergerak hendak menyentuh rambut Senja. Senja terkejut
dan beringsut dengan sigap ke belakang Mentari. Senja berupaya menyusutkan
tubuhnya yang besar di balik Mentari yang bertubuh kersang. “Meskipun tubuhnya
lebih kecil dibandingkan adiknya, Mentari adalah malaikat penjaga Senja,”
demikian ucapan yang sering dilontarkan oleh Ibu.
Mentari
pun tak kalah terkejut. Namun, naluri untuk melindungi adiknya meluap. Dia
berdiri membelakangi Senja dan merentangkan kedua lengannya ke kedua sisi
tubuhnya seperti hendak menghalangi laki-laki tua tersebut untuk menjangkau
Senja. Mentari menatap tajam sosok laki=laki tua di hadapannya. Matanya yang
bulat membelalak lebar. Laki-laki tersebut bergerak maju hendak menyentuhnya. Naluri
Mentari tersulut dan dengan lantang berteriak meminta pertolongan. Orang-orang
yang hendak menunaikan shalat menoleh dan berlari sigap. Laki-laki tua tsb ketakutan dan bergerak cepat
meninggalkan keduanya. Mentari dan Senja saling menggenggam erat tangan mereka.
Diam dengan tubuh yang bergetar. “Jangan katakan pada siapa pun!” ujar Mentari
sedikit tersengal. “Tidak juga Ibu.”
Chevrolet
bermoncong hijau panjang, bermata sipit berhenti di hadapan mereka. Nama tempat
ibu bekerja tertera di tubuhnya.
“Ibu…ibu…Senja mengarahkan telunjuknya ke arah si moncong hijau. Senja
selalu bersemangat untuk menjadi yang pertama mengenali kendaraan yang membawa Ibunya.
Rasa takut atas peristiwa yang baru saja terjadi luluh seketika. Ibu turun dari
dalam kendaraan. Di tangannya menjuntai tas coklat. Dengan sigap Mentari dan
Senja meraih tas dari tangan Ibu. Mentari menggenggam jinjingan tas di sisi
kanan dan Senja menggenggam di sisi kiri. Pandangan mata keduanya mengarah ke
dalam tas Ibu untuk mencari sesuatu. Suara tawa bahagia keduanya
terdengar. Ada kalanya kepala keduanya saling
berantukan. Tawa mereka semakin berderai. Senja mengangkat kantong kertas
coklat yang bertuliskan namanya, sambil tertawa bahagia. Mentari menggenggam
erat kantong kertas coklat miliknya. Ibu menaruh penganan yang sama dalam dua
kantong kertas coklat yang sama. Satu-satunya yang membedakan kedua kantong tsb
adalah sisipan kertas di dalamnya. Satu pesan untuk Mentari dan satu pesan untuk
Senja.
Keduanya
berjalan menggenggam erat kantung kertas coklat di satu tangan dan lengan Ibu
di tangan lainnya. Mereka beriringan menempuh jalur berputar yang lebih
berjarak. Perjalanan tersebut terasa sangat singkat karena ada banyak cerita
dan tanya yang terus dihamburkan. Kisah demi kisah menanti untuk dituturkan, saling
berdesakan di bibir, bertaburan, berserakan. Belum lagi tuntas satu kalimat
dari Mentari, Senja sudah memotong kalimatnya dan melontarkan kalimat miliknya.
Senja yang penuh semangat, terburu-buru dan tubuh yang tergolong besar untuk
usianya yang baru tujuh tahun. Lalu lintas di jalan tidak dapat menghentikan
cerita yang terus diriwayatkan. Hilir mudik kendaraan sore serta bunyi klakson
tidak bisa memadamkan hasrat keduanya untuk bertutur.
Ibu
menggenggam tangan keduanya. Gurat lelah yang tergores di wajah Ibu dan
sisa-sisa bulir-bulir peluh di keningnya sirna tatkala Mentari dan Senja berada
di dalam genggaman tangannya. Kepalanya
menoleh ke kiri dan kanan, senyumnya terus terpampang. Matanya bagaikan Elang,
mengawasi kendaraan yang berlalu lalang. Ibu memastikan mereka aman, jangankan
tersenggol, tersentuh pun ibu tak rela. Mereka semesta Ibu. Mentari,
lahir pada saat binar matahari mulai merayap menerangi bumi dan Senja
yang hadir di dunia dan menangis untuk pertamakalinya pada saat temaram
menyelubungi hidup Ibu.
Cerita
tidak berakhir ketika ketiganya tiba di rumah. Ibu yang kelelahan mendaratkan
tubuhnya di atas sofa yang terkelupas disana-sini. Mentari duduk di sisi kiri
dan Senja di sisi kanannya. Keduanya membuka kantung kertas coklat. Keduanya
meraih secarik kertas yang ibu sisipkan di dalamnya. Mentari tersenyum tipis
seraya memeluk ibu. Genangan air mata menggantung di pelupuk matanya. Senja
melonjak-lonjak kegirangan sambil mengucapkan terima kasih tanpa henti. Segala
lelah, segala peluh Ibu seperti terserap oleh kebahagiaan.
Percakapan
terus berlanjut. Percakapan hilir mudik dari sekolah sampai ke kamar mandi,
dari guru sampai sampai ke tetangga sebelah, dari penjepit rambut sampai ke teman.
Ibu membiarkan keduanya bertutur tanpa merasa perlu bersikap seperti aparatur
yang selalu mengatur, entah karena lelah yang mendera atau memang berniat
membiarkan panggung menjadi milik mereka berdua. Mentari dan Senja, memegang
peran utama di panggung kehidupan ibu.
Cerita
harus berakhir ketika malam menjelang. Ibu beranjak untuk membersihkan diri dan
bergerak menuju peraduan. Begitupun
Mentari dan Senja. Canda dan tawa masih memborehkan warna meskipun memudar dan hanya
sedikit yang tersisa. Ibu berbaring di tengah. Mentari dan Senja tergolek di
sisinya, Mentari di sisi kiri dan Senja di sisi kanan. Ketiganya menatap
langit-langit kamar...diam tanpa kata hingga kantuk menjemput dan melontarkan Mentari
dan Senja ke dunia mimpi.
Perlahan
ibu bangkit dari pembaringan dan duduk di meja belajar di sudut kamar. Ibu
mengambil dua lembar kertas kecil dari lacinya. Diam sejenak dan tak lama
kemudian tangannya sibuk menulis pesan untuk kedua semestanya. Satu untuk
Mentari dan satu untuk Senja. Satu di kotak makanan masing-masing dan satu lagi
di kantung kebahagiaan mereka.
Di
ruang tamu, kantung kebahagiaan tergolek menganga. Penganan masih utuh berada
di dalamnya. Serangga malam siap-siap berpesta. Entah mengapa kebahagiaan yang
berwujud buah tangan itu mereka tinggalkan. Kebahagiaan mungkin memang tidak
harus berwujud. Di samping masing-masing kantung tergeletak secarik kertas.
Tulisan tangan Ibu yang digoreskan dengan hati-hati, satu untuk Mentari dan
satu untuk Senja. Di kertas untuk Mentari, Ibu berpesan: “Terima kasih kamu
sudah menjadi Mentari bagi Senja. Ayah menemui Ibu beberapa hari yang lalu di
kantor. Ayah mengutarakan keinginannya untuk menemui kalian hari ini. Dia ingin
memeluk kalian, terlebih Senja yang selama ini tidak pernah mengenalnya. Ibu
tidak tahu apa keputusanmu, tetapi bila menurutmu baik, dan kamu membiarkan dia
menemui kamu dan Senja, Ibu tidak melarang.
Bila menurutmu tidak baik, Ibu percaya kamu pasti melakukan yang terbaik
untuk adikmu. Ibu mengasihimu.”
Di
kertas untuk Senja, Ibu menulis: “Senja, hari di kantor terasa panjang dan
lama. Ibu tidak sabar ingin mendengar ceritamu. Cerita tentang guru idolamu,
dan andaianmu bila dia adalah ayahmu. Oh ya...kata guru idolamu kepada Ibu,
kamu anak rajin dan cerdas. Kalau kamu terus rajin seperti ini kamu kemungkinan
akan menjadi juara kelas. Semangat ya nak, Ibu mengasihimu.”
Pak
guru, yang sekarang entah berada dimana, adalah tempat senja melabuhkan rindu
pada sosok ayah. Sosok ayah yang terasa begitu asing bagi senja. Sosok yang bersemayam
dalam bayangan kelam laki-laki tua yang dijumpainya, di senja hari di seberang
Masjid yang mencoba membelai rambutnya dan menyentuh Mentari.
Aroma
angu kembali mengudara. Sudah dua tahun, Senja terbiasa duduk di kursi malas
kayu pada sore hari, menelusuri kertas yang berisi bongkah kenangan atas nama
Mentari, yang telah dijemput sang
khalik, dan bongkah kenangan dirinya. Senja hanya ingin membunuh rasa sepi dan
mencari kebahagiaan. Bongkahan tersebut tersusun rapi di dalam kotak kayu
cendana warisan Ibu. Ada satu kertas untuk Mentari tergeletak di atas meja di
tepi kotak cendana dan satu kertas lainnya untuk Senja tersisip di antara
jempol dan telunjuknya.
Angin malam yang berhembus agak kencang menerbangkan
tumpukan-tumpukan kertas di dalam kotak cendana. Begitu juga satu kertas untuk Mentari
di sisi kotak cendana dan satu kertasnya yang tersisip di antara jemarinya. Kertas yang berhamburan terbang melayang dan
berputar di udara, kemudian berlabuh di
atas lantai. Kertas yang ditulis oleh tangan alhmarhum Ibu untuk Senja tergolek
tepat di sisi kertas untuk Mentari.
Senja
diam. Tak bergerak. Kedua kelopak matanya mengatup. Kepalanya
terkulai. Aroma angu tak lagi menggoda. Napasnya melambat. Sayup-sayup
terdengar suara Mentari menyemangati Senja: “Ayo … tiga lagi…lebih cepat…ayo.
Tiga ratus dua puluh satu…, tiga ratus dua puluh dua…” Pada hitungan 333 jantung
Senja berhenti berdetak.
No comments:
Post a Comment