Thursday, May 02, 2024

CATOPTROMANCY

 Dia hadir kembali. Mataku kembali menangkap bayang-bayangnya, seperti kemarin, kemarin dulu, tiga hari yang lalu serta sebelumnya dan juga sebelum-sebelumnya. Mataku terus mengawasi  gerak geriknya. Tubuhnya yang berisi bergerak cekatan. Tas yang bergelayut dipundaknya berlenggak-lenggok mengikuti irama tubuhnya. Petugas kebersihan menghentikan pekerjaannya dan mengucap salam: ”Selamat pagi Ibu Anna.” Anna membalasnya dengan melontarkan senyuman tipis dan anggukan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya yang tetap mengarah ke mesin pencatat kehadiran.

Suara hak sepatu yang beradu dengan lantai bergema di lobby kantor yang lengang. Iramanya menyerupai ketukan metronome. Anna berhenti di depan lift. Dinding di samping lift terbuat dari pualam hitam memantulkan bayangan Anna. Anna memperhatikan bayangannya, namun tidak lama. Pintu lift terbuka. Anna masuk  dan menekan tombol lantai lokasi ruang kerjanya. Bayangan Anna kembali tampil di dinding lift. Hampir satu menit waktu yang tersedia bagi Anna untuk mengamati dirinya. Anna tiba di ruang kerjanya  tempat Anna menghabiskan hampir seluruh jam, menit dan detik dalam satu hari. Tempat Anna diperlakukan sebagai manajer institusi besar, di dalam ruangan besar dengan kekuasaan besar.

Kesempatan tak terduga untuk mengenalnya lebih baik tiba di suatu sore dalam sebuah pertemuan yang membosankan. Kantuk dan lelah yang dasyat menyerangku. Beberapakali perlawananku berhasil dipatahkan, dan aku kehilangan kesadaran meskipun hanya dalam hitungan beberapa detik. Di tengah pergumulanku melawan serangan kantuk, pintu ruang pertemuan terbuka dan kepala Anna menyembul dari balik pintu. Satu-satunya tempat duduk yang tersedia ada di sebelahku. Sebagaimana dugaanku, Anna bergerak mendekati tempat dudukku. Serta merta kantukku hilang. Sosok yang selama ini kukenal secara sepihak namun ingin kudekati dan kuselami lebih jauh lagi tiba-tiba saja duduk di sampingku. Ini terlalu mengejutkan, dan siap tidak siap aku akan siap.

Anna tersenyum tipis seraya duduk di sampingku. “Hai, dia menyapaku dengan gembira. Dia tampak dalam semangat tertingginya. "Ini adalah satu-satunya kursi kosong, kamu tidak keberatan jika aku duduk di kursi ini?"

Silakan…tidak keberatan…tidak sama sekali ...,” aku gugup, dan hampir kehilangan suaraku.

“Saya baru datang karena harus menghadiri pertemuan lain sebelumnya,” demikian Anna menjelaskan meskipun tidak ada yang mempertanyakan keterlambatannya. Terlebih rapat ini merupakan pertemuan seluruh jajaran manajer sampai dengan pimpinan tingkat tertinggi. Tidak ada yang tahu apakah kita hadir atau tidak, terlambat atau tepat waktu. Ada hampir 100 orang hadir di pertemuan ini. Anna hanya sebutir pasir di sebuah gumuk.

Belum sempat aku membalas sapaannya, gawai Anna bergetar. Dia membuka gawainya dan raut wajahnya berubah menjadi kecut. Kemudian Anna sibuk membalas, dan dibalas, dan membalas, lanjut dibalas. Aktivitas balas membalas membuat Anna jemu tampaknya. Dia mematikan gawainya dan menarik napas panjang. Sadar bahwa ada sepasang mata lain di sampingnya yang turut memperhatikan polahnya, Anna mengalihkan pandangannya kepadaku dan berkata:”Anak jaman sekarang, sulit ditentang apalagi dilarang. Berbeda dengan kita dulu.”

Aku tersenyum mendengar uraiannya yang lebih tepat disebut keluh kesahnya. Seperti merasa mengenalnya dengan baik, aku menjawab:” Mungkin anak Anda juga mengatakan hal yang sama tentangmu,” ujarku sambil tersenyum sinis.

Anna menatapku tajam, pupil matanya membuka dan membalas perkataanku:”Maksudnya?”

“Ya, mungkin dia menganggap kamu terlalu sibuk sehingga mereka mencari cara untuk mencuri  waktumu,” ujarku sekenanya.

Anna diam, namun hanya sejenak. Dia kembali menyanggah pernyataanku:”Aku bekerja untuk mereka. Waktu yang tersita karena tuntutan pekerjaan agar aku bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.”

“Terbaik untuk mereka, versimu. Sebenarnya permasalahanmu adalah pekerjaanmu, atasanmu atau …mungkin kebutuhanmu sendiri?” Aku tau bahwa pertanyaan ini akan sedikit menusuk hatinya. Ekspresi mengejutkan terukir di wajahnya, tetapi dia tidak menanggapi lebih jauh. Dia duduk di kursi, memalingkan wajahnya ke pimpinan rapat dan berpura-pura seolah-olah dia memusatkan perhatian pada rapat. Namun raut wajahnya menampakkan kegelisahan. Tangannya mencengkram erat tissue yang menggumpal. Aku tahu dalam hitungan lima detik dia akan mengatakan sesuatu. Sebelum dia melakukannya, aku memburunya dengan serangkaian pernyataan. ”Setiap hari kamu pasti lembur tanpa jeda. Atasanmu tak jemu  melimpahkan pekerjaan kepadamu. Keluargamu sulit menghubungimu karena kamu berpindah dari satu rapat ke rapat lain dan tidak berkenan menganggkat gawaimu. Sepadankah semua ini bila dibandingkan dengan pengorbanan keluargamu?”

Matanya terbelalak lebar memandangku. Di dalamnya aku melihat air mata yang menggelantung serta luka yang menganga lebar. Dia meraih tasnya dan bergegas berlari keluar ruangan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku membayangi langkahnya. Langkahnya semakin cepat dan dia masuk ke toilet. Ada dua buah kursi, sebuah meja panjang yang menampung enam buah wastafel, serta  deretan kamar kecil. Tasnya dilempar ke atas meja tempat mencuci tangan.  Tangisnya meledak di depan cermin. Air matanya tumpah ruah tak terbendung.  Suara tangisnya memenuhi ruang hampa di dalam kamar kecil.

Aku menyapanya lembut:”Kamu baik-baik saja?”

Dia mengangkat kepalanya dan menatap  bayanganku di dalam cermin. Wajahnya basah oleh airmata, hidungnya berair dan puncaknya berwarna kemerahan. Ada amarah, ada kesedihan, ada luka, ada bersalah, ada berbagai pergumulan yang menumpuk di dadanya terpantul di matanya. Seluruh rasa akan bergejolak, meledak dan berhamburan dalam wujud perkataan yang tak terkendali, jauh dari kesadaran dan kewarasan. Sepertinya hormon Serotonin mengalami ketidakseimbangan di otaknya. “Pertanyaanmu adalah pertanyaan retoris,” jawabnya setengah menghardikku dengan pandangan mata seekor singa yang terluka. Demikian wujud ledakan pertamanya.

“Berarti kita sama-sama sudah memahami jawabannya. Kalau begitu aku kembali pada pertanyaan pertama. Siapa yang memaksamu untuk menjadi budak korporat, siapa yang menciptakan jarak antara pekerjaan dan keluarga? Uang, dirimu atau atasanmu?”

“Pertanyaan kosong! Mana ada jawaban mutlak. Semua sebab ada disana, semua berkontribusi pada keadaan,” teriaknya sambil mengayunkan kedua tangannya di udara seluas mungkin menjangkau udara, membentuk lingkaran besar. Atasanku merantai tubuhku dengan kekuasaannya, uang adalah rasa cintaku untuk memberikan kehidupan yang terbaik bagi anak-anakku, dan aku  adalah korban yang terperangkap dalam situasi ini.” Demikian ledakannya yang kedua. Ini adalah petanda gelombang emosi belum mengering. Aku memilih ada dalam diam, menanti waktu yang tepat untuk mengusiknya kembali.

Selang beberapa saat, air matanya reda. Aku kembali berkata: “Anna ada cermin di hadapanmu. Temukan dirimu di dalam cermin ini. Anna yang berdiri termenung, diam dalam kebisuan. Perlahan Anna mendongakkan kepalanya dan menatap dirinya di dalam cermin. Bibirnya bergerak-gerak menggumam perlahan, pesannya dapat dimaknai meski sulit di dengar: “Cermin, cermin di dinding: Siapa aku?” Dongeng Cinderella memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penggemarnya. Bayangan yang dipantulkan oleh cermin diyakini sebagai identitas si empunya bayangan. 

Aku berkata kepada Anna: “Kalau saja Narcissus tidak jatuh cinta pada refleksinya di air, kemungkinan dia tidak mati.”

Perkataanku sepertinya tidak didengar. Perhatiannya tetap tertuju pada bayangan dirinya yang tampil di cermin.  Anna menyentuh bayangannya di cermin sebagaimana halnya bayangan tersebut juga menyentuh Anna. Anna melakukan beberapa gerakan yang juga diikuti oleh bayangan di dalam cermin. Anna kembali bergumam:”Kamu hanyalah sebuah bayangan. Aku sang pemilik bayangan yang mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”  Anna mulai menyadari ada jarak antara dirinya yang di depan cermin dan bayangan dirinya di dalam cermin.

Bayangan yang sama juga hadir dalam tatapan mata petugas kebersihan, dinding pualam yang berkilat, dinding lift. Anna adalah manajer, Anna adalah kuasa, Anna dihormati. Refleksi itu sudah berhasil membius dan menjadikan Anna obyek dan bayangannya menjadi subyek yang mendefinisikan Anna dalam dimensinya sebagai seorang manajer, pemegang kuasa dan dihormati. Sebuah ramalan swawujud yang lahir dari Catoptromancy. Pemasungan Anna oleh atasan adalah sebuah akibat, bayang-bayang menjadi penyebab. Jarak antara Anna dan keluarganya adalah sebuah implikasi.

“Lalu siapa kamu Anna? Aku mengulangi pertanyaanku kembali.

“Penentu terbesar siapa aku adalah di mana aku berada. Di mana aku berada adalah semua fitur situasiku lokasi fisik dan waktu. Disini aku manajer, di rumah aku seorang ibu, istri, di tengah masyarakat aku adalah seorang wanita; dan juga waktu, di pagi hari aku seorang ibu rumah tangga, di siang hari aku manajer, di sore hari aku seorang istri. Aku adalah diri yang berbeda saat bersama dengan teman kuliah dan pada saat minum bersama keluarga setelah makan malam.” Anna menjawab tanpa memedulikan kehadiranku atau tanggapanku.

“Aku harus pulang sekarang,” Anna menjawab sambil memegang tasnya. Dia bergerak cepat dan berjalan menuju pintu keluar kamar kecil. Ketika tangannya memegang gagang pintu, Anna menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia membalikkan tubuhnya, mengernyitkan kening dan memandangku dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Anna merasakan adanya keanehan dalam percakapan ini. “Sebentar, bagaimana kamu tahu namaku adalah Anna? Aku tidak pernah mengenal dirimu, dan seumur hidupku baru hari ini aku melihatmu. Bagaimana kamu bisa mengetahui begitu banyak hal tentang aku? Siapakah kamu?”

Sekarang giliran Anna yang ingin mengetahui, mengenal lebih jauh tentang diriku. Aku tersenyum tipis, seperti senyuman Anna pada petugas kebersihan di lobby. Mataku tajam menatap Anna. “Namaku adalah namamu yang dieja dari belakang.

Anna terperanjat. Sambil mengernyitkan dahinya Anna berkata: “A-n-n-a. Kamu juga Anna?”

“Aku adalah kesadaran yang lama terbenam dalam ketidaksadaranmu. Kamu dan aku satu,” jawabku.

 


Wednesday, May 01, 2024

333 LANGKAH MENJEMPUT KEBAHAGIAAN

 

Bau angu dari tanah gersang yang disiram air hujan menyeruak ke dalam rongga penciuman Senja. Angin yang menyelinap masuk dari sela-sela tirai meniupkan aroma yang sangat dikenalnya. Senja duduk diam, menikmati belaian angin sore di atas kursi goyang kayu. Warna rambut abu-abu keperakan yang menutupi kepalanya dan berjuntai di sisi telinganya turut menari mengikuti irama angin sore.

Senja menarik nafas dalam-dalam, mengisi dua bilik paru-parunya dengan aroma angu. Senja tidak dapat menjelaskan mengapa setiap kali bau angu dihirupnya, rasa sepi yang menggelayuti dadanya dua tahun terakhir ini sedikit berkurang. Senja kembali menarik napasnya dalam satu hentakan keras, kali ini lebih banyak, lebih dalam dan lebih lama. Kepalanya yang bertumpu pada sandaran kursi goyang, sedikit mendongak dan matanya terpejam. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat dan senyuman tipis tergores di wajahnya. Bayang-bayang peristiwa lima puluh delapan tahun lalu bergerak silih berganti di benaknya.

Mentari dan Senja menelusuri rel kereta. Rambut basah keduanya yang kadang masih meneteskan air rapih terjalin. Bau sabun cap tangan dari pakaian mengusik penciuman berbaur dengan aroma angu yang dieskalasi oleh air hujan.  Senja dan Mentari melompat di atas papan-papan yang dijadikan ambalan rel kereta api dengan cekatan.. “Lima puluh enam, lima puluh tujuh, lima puluh delapan…,” pekik keduanya. Senja melompat di sisi kiri rel dan Mentari berjingkat di sisi kanan. Keduanya terus berlaga mengadu kecepatan sambil memekikkan angka ambalan yang dilalui. Pada hitungan 325, Mentari bersorak menyemangati Senja untuk menambah kecepatan: “Ayo … delapan lagi…lebih cepat…ayo.” Pada hitungan 333 keduanya tiba di tepi jalan raya, terengah-engah. Rambut yang terjalin, sedikit terlepas dan mengurai di kedua sisi wajah keduanya. , berbaur dengan keringat.

Masjid di seberang dan kedua gadis dipisahkan oleh jalan raya. Lalu lalang kendaraan menghadirkan orkestra sore kota besar. Debu-debu yang biasanya beterbangan sedikit tenggelam. Hujan yang turun beberapa saat yang lalu telah meredamnya. Bau angu merebak dari aspal yang basah terguyur hujan. Napas Mentari dan Senja masih berkejaran. Mereka berdiri di tepi jalan. Kedua pasang bola mata sudah sibuk menyisiri  lalu lalang kendaraan. Keduanya menanti kebahagiaan yang segera menjelang. Kepala keduanya bergerak dari kanan ke kiri, kembali ke kanan menyapu ke kiri.

Penantian memang pekerjaan yang membutuhkan sejuta kesabaran. Sore itu kesabaran semakin diuji ketika matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Suara azan berkumandang memanggil umat untuk menunaikan shalat Magrib. Mata Mentari dan Senja semakin sulit mengidentifikasi kendaraan yang lalu lalang. Entah dari mana, tiba-tiba sosok laki-laki seusia Ibu dengan pakaian lusuh menghampiri mereka. Laki-laki tsb mendekat perlahan. Tangannya bergerak hendak menyentuh rambut Senja. Senja terkejut dan beringsut dengan sigap ke belakang Mentari. Senja berupaya menyusutkan tubuhnya yang besar di balik Mentari yang bertubuh kersang. “Meskipun tubuhnya lebih kecil dibandingkan adiknya, Mentari adalah malaikat penjaga Senja,” demikian ucapan yang sering dilontarkan oleh Ibu.

Mentari pun tak kalah terkejut. Namun, naluri untuk melindungi adiknya meluap. Dia berdiri membelakangi Senja dan merentangkan kedua lengannya ke kedua sisi tubuhnya seperti hendak menghalangi laki-laki tua tersebut untuk menjangkau Senja. Mentari menatap tajam sosok laki=laki tua di hadapannya. Matanya yang bulat membelalak lebar. Laki-laki tersebut bergerak maju hendak menyentuhnya. Naluri Mentari tersulut dan dengan lantang berteriak meminta pertolongan. Orang-orang yang hendak menunaikan shalat menoleh dan berlari sigap.  Laki-laki tua tsb ketakutan dan bergerak cepat meninggalkan keduanya. Mentari dan Senja saling menggenggam erat tangan mereka. Diam dengan tubuh yang bergetar. “Jangan katakan pada siapa pun!” ujar Mentari sedikit tersengal. “Tidak juga Ibu.”  

Chevrolet bermoncong hijau panjang, bermata sipit berhenti di hadapan mereka. Nama tempat ibu bekerja tertera di tubuhnya.  “Ibu…ibu…Senja mengarahkan telunjuknya ke arah si moncong hijau. Senja selalu bersemangat untuk menjadi yang pertama mengenali kendaraan yang membawa Ibunya. Rasa takut atas peristiwa yang baru saja terjadi luluh seketika. Ibu turun dari dalam kendaraan. Di tangannya menjuntai tas coklat. Dengan sigap Mentari dan Senja meraih tas dari tangan Ibu. Mentari menggenggam jinjingan tas di sisi kanan dan Senja menggenggam di sisi kiri. Pandangan mata keduanya mengarah ke dalam tas Ibu untuk mencari sesuatu. Suara tawa bahagia keduanya terdengar.  Ada kalanya kepala keduanya saling berantukan. Tawa mereka semakin berderai. Senja mengangkat kantong kertas coklat yang bertuliskan namanya, sambil tertawa bahagia. Mentari menggenggam erat kantong kertas coklat miliknya. Ibu menaruh penganan yang sama dalam dua kantong kertas coklat yang sama. Satu-satunya yang membedakan kedua kantong tsb adalah sisipan kertas di dalamnya. Satu pesan untuk Mentari dan satu pesan untuk Senja.

Keduanya berjalan menggenggam erat kantung kertas coklat di satu tangan dan lengan Ibu di tangan lainnya. Mereka beriringan menempuh jalur berputar yang lebih berjarak. Perjalanan tersebut terasa sangat singkat karena ada banyak cerita dan tanya yang terus dihamburkan. Kisah demi kisah menanti untuk dituturkan, saling berdesakan di bibir, bertaburan, berserakan. Belum lagi tuntas satu kalimat dari Mentari, Senja sudah memotong kalimatnya dan melontarkan kalimat miliknya. Senja yang penuh semangat, terburu-buru dan tubuh yang tergolong besar untuk usianya yang baru tujuh tahun. Lalu lintas di jalan tidak dapat menghentikan cerita yang terus diriwayatkan. Hilir mudik kendaraan sore serta bunyi klakson tidak bisa memadamkan hasrat keduanya untuk bertutur.

Ibu menggenggam tangan keduanya. Gurat lelah yang tergores di wajah Ibu dan sisa-sisa bulir-bulir peluh di keningnya sirna tatkala Mentari dan Senja berada di dalam genggaman tangannya.  Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, senyumnya terus terpampang. Matanya bagaikan Elang, mengawasi kendaraan yang berlalu lalang. Ibu memastikan mereka aman, jangankan tersenggol, tersentuh pun ibu tak rela. Mereka semesta Ibu.  Mentari,   lahir pada saat binar matahari mulai merayap menerangi bumi dan Senja yang hadir di dunia dan menangis untuk pertamakalinya pada saat temaram menyelubungi hidup Ibu. 

Cerita tidak berakhir ketika ketiganya tiba di rumah. Ibu yang kelelahan mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang terkelupas disana-sini. Mentari duduk di sisi kiri dan Senja di sisi kanannya. Keduanya membuka kantung kertas coklat. Keduanya meraih secarik kertas yang ibu sisipkan di dalamnya. Mentari tersenyum tipis seraya memeluk ibu. Genangan air mata menggantung di pelupuk matanya. Senja melonjak-lonjak kegirangan sambil mengucapkan terima kasih tanpa henti. Segala lelah, segala peluh Ibu seperti terserap oleh kebahagiaan.

Percakapan terus berlanjut. Percakapan hilir mudik dari sekolah sampai ke kamar mandi, dari guru sampai sampai ke tetangga sebelah, dari penjepit rambut sampai ke teman. Ibu membiarkan keduanya bertutur tanpa merasa perlu bersikap seperti aparatur yang selalu mengatur, entah karena lelah yang mendera atau memang berniat membiarkan panggung menjadi milik mereka berdua. Mentari dan Senja, memegang peran utama di panggung kehidupan ibu.

Cerita harus berakhir ketika malam menjelang. Ibu beranjak untuk membersihkan diri dan bergerak menuju peraduan.  Begitupun Mentari dan Senja. Canda dan tawa masih memborehkan warna meskipun memudar dan hanya sedikit yang tersisa. Ibu berbaring di tengah. Mentari dan Senja tergolek di sisinya, Mentari di sisi kiri dan Senja di sisi kanan. Ketiganya menatap langit-langit kamar...diam tanpa kata hingga kantuk menjemput dan melontarkan Mentari dan Senja ke dunia mimpi.

Perlahan ibu bangkit dari pembaringan dan duduk di meja belajar di sudut kamar. Ibu mengambil dua lembar kertas kecil dari lacinya. Diam sejenak dan tak lama kemudian tangannya sibuk menulis pesan untuk kedua semestanya. Satu untuk Mentari dan satu untuk Senja. Satu di kotak makanan masing-masing dan satu lagi di kantung kebahagiaan mereka.

Di ruang tamu, kantung kebahagiaan tergolek menganga. Penganan masih utuh berada di dalamnya. Serangga malam siap-siap berpesta. Entah mengapa kebahagiaan yang berwujud buah tangan itu mereka tinggalkan. Kebahagiaan mungkin memang tidak harus berwujud. Di samping masing-masing kantung tergeletak secarik kertas. Tulisan tangan Ibu yang digoreskan dengan hati-hati, satu untuk Mentari dan satu untuk Senja. Di kertas untuk Mentari, Ibu berpesan: “Terima kasih kamu sudah menjadi Mentari bagi Senja. Ayah menemui Ibu beberapa hari yang lalu di kantor. Ayah mengutarakan keinginannya untuk menemui kalian hari ini. Dia ingin memeluk kalian, terlebih Senja yang selama ini tidak pernah mengenalnya. Ibu tidak tahu apa keputusanmu, tetapi bila menurutmu baik, dan kamu membiarkan dia menemui kamu dan Senja, Ibu tidak melarang.  Bila menurutmu tidak baik, Ibu percaya kamu pasti melakukan yang terbaik untuk adikmu. Ibu mengasihimu.” 

Di kertas untuk Senja, Ibu menulis: “Senja, hari di kantor terasa panjang dan lama. Ibu tidak sabar ingin mendengar ceritamu. Cerita tentang guru idolamu, dan andaianmu bila dia adalah ayahmu. Oh ya...kata guru idolamu kepada Ibu, kamu anak rajin dan cerdas. Kalau kamu terus rajin seperti ini kamu kemungkinan akan menjadi juara kelas. Semangat ya nak, Ibu mengasihimu.”  

Pak guru, yang sekarang entah berada dimana, adalah tempat senja melabuhkan rindu pada sosok ayah. Sosok ayah yang terasa begitu asing bagi senja. Sosok yang bersemayam dalam bayangan kelam laki-laki tua yang dijumpainya, di senja hari di seberang Masjid yang mencoba membelai rambutnya dan menyentuh Mentari.

Aroma angu kembali mengudara. Sudah dua tahun, Senja terbiasa duduk di kursi malas kayu pada sore hari, menelusuri kertas yang berisi bongkah kenangan atas nama Mentari, yang  telah dijemput sang khalik, dan bongkah kenangan dirinya. Senja hanya ingin membunuh rasa sepi dan mencari kebahagiaan. Bongkahan tersebut tersusun rapi di dalam kotak kayu cendana warisan Ibu. Ada satu kertas untuk Mentari tergeletak di atas meja di tepi kotak cendana dan satu kertas lainnya untuk Senja tersisip di antara jempol dan telunjuknya.

 Angin malam yang berhembus agak kencang menerbangkan tumpukan-tumpukan kertas di dalam kotak cendana. Begitu juga satu kertas untuk Mentari di sisi kotak cendana dan satu kertasnya yang tersisip di antara jemarinya.  Kertas yang berhamburan terbang melayang dan berputar di udara, kemudian  berlabuh di atas lantai. Kertas yang ditulis oleh tangan alhmarhum Ibu untuk Senja tergolek tepat di sisi kertas untuk Mentari.

Senja diam.  Tak bergerak.  Kedua kelopak matanya mengatup. Kepalanya terkulai. Aroma angu tak lagi menggoda. Napasnya melambat. Sayup-sayup terdengar suara Mentari menyemangati Senja: “Ayo … tiga lagi…lebih cepat…ayo. Tiga ratus dua puluh satu…, tiga ratus dua puluh dua…” Pada hitungan 333 jantung Senja berhenti berdetak.