Suara
hak sepatu yang beradu dengan lantai bergema di lobby kantor yang lengang.
Iramanya menyerupai ketukan metronome. Anna berhenti di depan lift. Dinding di
samping lift terbuat dari pualam hitam memantulkan bayangan Anna. Anna
memperhatikan bayangannya, namun tidak lama. Pintu lift terbuka. Anna masuk dan menekan tombol lantai lokasi ruang
kerjanya. Bayangan Anna kembali tampil di dinding lift. Hampir satu menit waktu
yang tersedia bagi Anna untuk mengamati dirinya. Anna tiba di ruang kerjanya tempat Anna menghabiskan hampir seluruh jam,
menit dan detik dalam satu hari. Tempat Anna diperlakukan sebagai manajer
institusi besar, di dalam ruangan besar dengan kekuasaan besar.
Kesempatan
tak terduga untuk mengenalnya lebih baik tiba di suatu sore dalam sebuah
pertemuan yang membosankan. Kantuk dan lelah yang dasyat menyerangku.
Beberapakali perlawananku berhasil dipatahkan, dan aku kehilangan kesadaran meskipun
hanya dalam hitungan beberapa detik. Di tengah pergumulanku melawan serangan
kantuk, pintu ruang pertemuan terbuka dan kepala Anna menyembul dari balik
pintu. Satu-satunya tempat duduk yang tersedia ada di sebelahku. Sebagaimana
dugaanku, Anna bergerak mendekati tempat dudukku. Serta merta kantukku hilang.
Sosok yang selama ini kukenal secara sepihak namun ingin kudekati dan kuselami
lebih jauh lagi tiba-tiba saja duduk di sampingku. Ini terlalu mengejutkan, dan
siap tidak siap aku akan siap.
Anna
tersenyum tipis seraya duduk di sampingku. “Hai, dia menyapaku dengan gembira.
Dia tampak dalam semangat tertingginya. "Ini adalah satu-satunya kursi
kosong, kamu tidak keberatan jika aku duduk di kursi ini?"
Silakan…tidak
keberatan…tidak sama sekali ...,” aku gugup, dan hampir kehilangan suaraku.
“Saya
baru datang karena harus menghadiri pertemuan lain sebelumnya,” demikian Anna
menjelaskan meskipun tidak ada yang mempertanyakan keterlambatannya. Terlebih
rapat ini merupakan pertemuan seluruh jajaran manajer sampai dengan pimpinan
tingkat tertinggi. Tidak ada yang tahu apakah kita hadir atau tidak, terlambat
atau tepat waktu. Ada hampir 100 orang hadir di pertemuan ini. Anna hanya
sebutir pasir di sebuah gumuk.
Belum
sempat aku membalas sapaannya, gawai Anna bergetar. Dia membuka gawainya dan
raut wajahnya berubah menjadi kecut. Kemudian Anna sibuk membalas, dan dibalas,
dan membalas, lanjut dibalas. Aktivitas balas membalas membuat Anna jemu
tampaknya. Dia mematikan gawainya dan menarik napas panjang. Sadar bahwa ada
sepasang mata lain di sampingnya yang turut memperhatikan polahnya, Anna
mengalihkan pandangannya kepadaku dan berkata:”Anak jaman sekarang, sulit
ditentang apalagi dilarang. Berbeda dengan kita dulu.”
Aku
tersenyum mendengar uraiannya yang lebih tepat disebut keluh kesahnya. Seperti
merasa mengenalnya dengan baik, aku menjawab:” Mungkin anak Anda juga
mengatakan hal yang sama tentangmu,” ujarku sambil tersenyum sinis.
Anna
menatapku tajam, pupil matanya membuka dan membalas perkataanku:”Maksudnya?”
“Ya,
mungkin dia menganggap kamu terlalu sibuk sehingga mereka mencari cara untuk
mencuri waktumu,” ujarku sekenanya.
Anna
diam, namun hanya sejenak. Dia kembali menyanggah pernyataanku:”Aku bekerja
untuk mereka. Waktu yang tersita karena tuntutan pekerjaan agar aku bisa
memberikan yang terbaik bagi mereka.”
“Terbaik
untuk mereka, versimu. Sebenarnya permasalahanmu adalah pekerjaanmu, atasanmu
atau …mungkin kebutuhanmu sendiri?” Aku tau bahwa pertanyaan ini akan sedikit
menusuk hatinya. Ekspresi mengejutkan terukir di wajahnya, tetapi dia tidak
menanggapi lebih jauh. Dia duduk di kursi, memalingkan wajahnya ke pimpinan
rapat dan berpura-pura seolah-olah dia memusatkan perhatian pada rapat. Namun
raut wajahnya menampakkan kegelisahan. Tangannya mencengkram erat tissue yang
menggumpal. Aku tahu dalam hitungan lima detik dia akan mengatakan sesuatu.
Sebelum dia melakukannya, aku memburunya dengan serangkaian pernyataan. ”Setiap
hari kamu pasti lembur tanpa jeda. Atasanmu tak jemu melimpahkan pekerjaan kepadamu. Keluargamu
sulit menghubungimu karena kamu berpindah dari satu rapat ke rapat lain dan
tidak berkenan menganggkat gawaimu. Sepadankah semua ini bila dibandingkan
dengan pengorbanan keluargamu?”
Matanya
terbelalak lebar memandangku. Di dalamnya aku melihat air mata yang
menggelantung serta luka yang menganga lebar. Dia meraih tasnya dan bergegas
berlari keluar ruangan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku
membayangi langkahnya. Langkahnya semakin cepat dan dia masuk ke toilet. Ada
dua buah kursi, sebuah meja panjang yang menampung enam buah wastafel,
serta deretan kamar kecil. Tasnya
dilempar ke atas meja tempat mencuci tangan. Tangisnya meledak di depan cermin. Air matanya
tumpah ruah tak terbendung. Suara
tangisnya memenuhi ruang hampa di dalam kamar kecil.
Aku
menyapanya lembut:”Kamu baik-baik saja?”
Dia
mengangkat kepalanya dan menatap
bayanganku di dalam cermin. Wajahnya basah oleh airmata, hidungnya
berair dan puncaknya berwarna kemerahan. Ada amarah, ada kesedihan, ada luka,
ada bersalah, ada berbagai pergumulan yang menumpuk di dadanya terpantul di
matanya. Seluruh rasa akan bergejolak, meledak dan berhamburan dalam wujud
perkataan yang tak terkendali, jauh dari kesadaran dan kewarasan. Sepertinya
hormon Serotonin mengalami ketidakseimbangan di otaknya. “Pertanyaanmu adalah
pertanyaan retoris,” jawabnya setengah menghardikku dengan pandangan mata
seekor singa yang terluka. Demikian wujud ledakan pertamanya.
“Berarti
kita sama-sama sudah memahami jawabannya. Kalau begitu aku kembali pada
pertanyaan pertama. Siapa yang memaksamu untuk menjadi budak korporat, siapa
yang menciptakan jarak antara pekerjaan dan keluarga? Uang, dirimu atau atasanmu?”
“Pertanyaan
kosong! Mana ada jawaban mutlak. Semua sebab ada disana, semua berkontribusi
pada keadaan,” teriaknya sambil mengayunkan kedua tangannya di udara seluas
mungkin menjangkau udara, membentuk lingkaran besar. Atasanku merantai tubuhku
dengan kekuasaannya, uang adalah rasa cintaku untuk memberikan kehidupan yang terbaik
bagi anak-anakku, dan aku adalah korban yang
terperangkap dalam situasi ini.” Demikian ledakannya yang kedua. Ini adalah petanda
gelombang emosi belum mengering. Aku memilih ada dalam diam, menanti waktu yang
tepat untuk mengusiknya kembali.
Selang
beberapa saat, air matanya reda. Aku kembali berkata: “Anna ada cermin di
hadapanmu. Temukan dirimu di dalam cermin ini. Anna yang berdiri termenung,
diam dalam kebisuan. Perlahan Anna mendongakkan kepalanya dan menatap dirinya
di dalam cermin. Bibirnya bergerak-gerak menggumam perlahan, pesannya dapat
dimaknai meski sulit di dengar: “Cermin, cermin di dinding: Siapa aku?” Dongeng
Cinderella memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penggemarnya. Bayangan
yang dipantulkan oleh cermin diyakini sebagai identitas si empunya
bayangan.
Aku
berkata kepada Anna: “Kalau saja Narcissus tidak jatuh cinta pada refleksinya
di air, kemungkinan dia tidak mati.”
Perkataanku
sepertinya tidak didengar. Perhatiannya tetap tertuju pada bayangan dirinya
yang tampil di cermin. Anna menyentuh
bayangannya di cermin sebagaimana halnya bayangan tersebut juga menyentuh Anna.
Anna melakukan beberapa gerakan yang juga diikuti oleh bayangan di dalam
cermin. Anna kembali bergumam:”Kamu hanyalah sebuah bayangan. Aku sang pemilik bayangan
yang mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”
Anna mulai menyadari ada jarak antara dirinya yang di depan cermin dan
bayangan dirinya di dalam cermin.
Bayangan
yang sama juga hadir dalam tatapan mata petugas kebersihan, dinding pualam yang
berkilat, dinding lift. Anna adalah manajer, Anna adalah kuasa, Anna dihormati.
Refleksi itu sudah berhasil membius dan menjadikan Anna obyek dan bayangannya
menjadi subyek yang mendefinisikan Anna dalam dimensinya sebagai seorang
manajer, pemegang kuasa dan dihormati. Sebuah ramalan swawujud yang lahir dari
Catoptromancy. Pemasungan Anna oleh atasan adalah sebuah akibat, bayang-bayang
menjadi penyebab. Jarak antara Anna dan keluarganya adalah sebuah implikasi.
“Lalu
siapa kamu Anna? Aku mengulangi pertanyaanku kembali.
“Penentu
terbesar siapa aku adalah di mana aku berada. Di mana aku berada adalah semua
fitur situasiku lokasi fisik dan waktu. Disini aku manajer, di rumah aku
seorang ibu, istri, di tengah masyarakat aku adalah seorang wanita; dan juga
waktu, di pagi hari aku seorang ibu rumah tangga, di siang hari aku manajer, di
sore hari aku seorang istri. Aku adalah diri yang berbeda saat bersama dengan
teman kuliah dan pada saat minum bersama keluarga setelah makan malam.” Anna menjawab
tanpa memedulikan kehadiranku atau tanggapanku.
“Aku
harus pulang sekarang,” Anna menjawab sambil memegang tasnya. Dia bergerak
cepat dan berjalan menuju pintu keluar kamar kecil. Ketika tangannya memegang
gagang pintu, Anna menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia membalikkan
tubuhnya, mengernyitkan kening dan memandangku dengan penuh tanda tanya. Sepertinya
Anna merasakan adanya keanehan dalam percakapan ini. “Sebentar, bagaimana kamu
tahu namaku adalah Anna? Aku tidak pernah mengenal dirimu, dan seumur hidupku
baru hari ini aku melihatmu. Bagaimana kamu bisa mengetahui begitu banyak hal
tentang aku? Siapakah kamu?”
Sekarang
giliran Anna yang ingin mengetahui, mengenal lebih jauh tentang diriku. Aku
tersenyum tipis, seperti senyuman Anna pada petugas kebersihan di lobby. Mataku
tajam menatap Anna. “Namaku adalah namamu yang dieja dari belakang.
Anna
terperanjat. Sambil mengernyitkan dahinya Anna berkata: “A-n-n-a. Kamu juga
Anna?”
“Aku
adalah kesadaran yang lama terbenam dalam ketidaksadaranmu. Kamu dan aku satu,”
jawabku.